0
0
Di era digital, data adalah emas baru. Setiap klik, pencarian, dan transaksi online menghasilkan jejak digital yang bisa dianalisis. Namun, muncul masalah besar: siapa sebenarnya yang mengendalikan data pribadi kita, dan apakah kita masih punya privasi?
Perusahaan teknologi raksasa mengumpulkan data dalam jumlah masif. Google, Meta, dan Amazon tahu kebiasaan belanja, lokasi, bahkan preferensi politik penggunanya. Data ini digunakan untuk menargetkan iklan, meningkatkan layanan, tetapi juga berpotensi disalahgunakan.
Selain perusahaan, pemerintah juga aktif mengawasi warganya. Negara-negara otoriter menggunakan teknologi pengenalan wajah dan pengawasan digital untuk mengendalikan masyarakat. Bahkan di negara demokratis, praktik pengumpulan data seringkali tidak transparan.
Krisis privasi ini makin rumit dengan maraknya kebocoran data. Kasus peretasan jutaan akun bank, media sosial, hingga data kesehatan membuktikan bahwa sistem keamanan sering tidak sebanding dengan nilai data yang disimpan.
Beberapa negara sudah mencoba merespons. Uni Eropa menerapkan regulasi ketat lewat GDPR, memberi kontrol lebih pada pengguna atas datanya. Namun, implementasi di level global masih lemah, sehingga banyak perusahaan menghindari aturan dengan cara kreatif.
Konsumen sebenarnya tidak sepenuhnya berdaya. Banyak yang rela menyerahkan data demi kenyamanan layanan gratis. Ironisnya, justru data inilah yang menjadi komoditas paling berharga di abad ke-21.
Jika tidak ada langkah serius, dunia bisa masuk ke era “kapitalisme pengawasan” di mana setiap aspek kehidupan dipantau dan dimonetisasi. Privasi bukan lagi hak dasar, melainkan barang mewah.
Krisis privasi data adalah peringatan bahwa kita harus lebih kritis. Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan informasi kita dikendalikan segelintir pihak, atau menuntut kontrol lebih besar atas hak digital kita?
