Di seluruh dunia, konservasi satwa menghadapi tantangan besar. Bukan hanya karena perburuan atau perubahan iklim, tetapi juga politik yang sering mengabaikan kepentingan lingkungan.
Banyak spesies satwa langka—seperti harimau sumatra, badak putih, hingga orangutan—terjebak di persimpangan antara proyek pembangunan dan konservasi. Pemerintah sering kali lebih memprioritaskan investasi industri, pertambangan, atau perkebunan ketimbang menjaga habitat satwa.
Akibatnya, hutan semakin menyempit, dan satwa terpaksa keluar ke pemukiman manusia. Konflik manusia-satwa pun meningkat, mulai dari gajah yang masuk ladang hingga harimau yang menyerang peternakan.
Organisasi internasional sudah lama memperingatkan risiko kepunahan massal. Namun, suara mereka sering kali kalah oleh lobi politik dan kepentingan ekonomi jangka pendek.
Beberapa negara mencoba membangun taman konservasi besar, tetapi tanpa dukungan anggaran dan pengawasan ketat, banyak proyek ini berakhir hanya jadi “hutan turis”.
Selain itu, perdagangan satwa ilegal masih marak, dengan jaringan global yang sulit diberantas karena adanya oknum pejabat yang terlibat.
Jika tren ini berlanjut, dunia bisa kehilangan ratusan spesies dalam beberapa dekade ke depan. Kepunahan massal bukan lagi sekadar ancaman fiksi, melainkan kenyataan yang mendekat.
Krisis konservasi satwa adalah bukti nyata bahwa politik buruk bisa mempercepat kerusakan alam. Saatnya dunia menempatkan satwa bukan hanya sebagai aset ekowisata, tetapi sebagai bagian penting dari keseimbangan hidup manusia.